Akhir-akhir di tempat kerja saya menemui beberapa orang tua membawa anaknya ke tempat saya bekerja di Panti Rahayu dengan keluhan demam dan muncul bercak-bercak merah di tangan dan kakinya. Beberapa dari mereka menanyakan tentang flu singapura, apakah benar bahwa anaknya terkena flu singapura. Saya berada di Bali, tempat dimana banyak wisatawan asing dari berbagai belahan bumi menjelajahi pulau kecil ini, tentu saja penyakit-penyakit semacam flu singapura juga bisa saja dengan mudah menyebar disini.
Hidup adalah perjalanan yang berbatas waktu dengan ilmu yang tak terbatas. Kita terus melihat, mendengar, mencium, merasakan hal-hal baru, mencoba mencerna menggali pengalaman dan belajar. Tak pernah berhenti belajar, tak pernah berhenti berkembang. Tak lupa untuk selalu berbagi, karena pengalaman tidak harus dialami. Mari membaca, mari mengamati, mari mendengar, mari berbagi. Hidup itu indah.
Kamis, 16 Januari 2014
Sabtu, 11 Januari 2014
Animasi "9"
Sebuah film animasi yang diproduksi
pada Oktober 2009 oleh Tim Burton dan Timur Bekmambetov. Film ini
berkisah tentang kehidupan di masa depan, dimana manusia sudah tidak ada
lagi.
Diawali
dengan hidupnya sebuah boneka robot kecil dengan no 9 di punggungnya.
Awalnya ia sangat bingung dan merasa aneh, ketika hidup di juga membawa
barang berbentuk setengah bola dengan tiga simbol tergambar diatasnya.
Ia simpan benda itu dan pergi menjelajah.
INTO THIN AIR
Judul buku : Into Thin Air
Pengarang : Jon Krakauer
Penerbit asli : Anchor books, NY
Penerbit terjemahan : Qanita
Tahun : 1997
Sebuah
kisah nyata mengenai pendakian ke puncak Everest yang dialami oleh Jon
Krakauer. Jon Krakauer adalah seorang kontributor majalah Outside,
dan tentu saja seorang pendaki gunung. Berbagai tulisan tentang
penjelajahan alam telah ditulisnya dan muncul di berbagai majalah
terkenal. Ia menceritakan kembali kisah perjalanannya ke puncak Everest
karena merasa tidak puas dengan tulisan yang telah ia buat untuk Outside dan untuk menghilangkan pengalaman pahit dan perasaan tidak enaknya terhadap Everest.
Di
awal kisah pembaca akan diperkenalkan dengan yang namanya Everest, dari
mulai penemuannya pada tahun 1852 hingga penaklukannya 101 tahun
kemudian. Everest, yang oleh orang Sherpa(suku asli yang tinggal di kaki
gunung Everest) dinamakan Sagarmatha telah membius banyak pendaki dari
seluruh penjuru dunia untuk menaklukkannya. Sagarmatha yang berarti Dewi
Langit sangat dihormati oleh orang-orang Sherpa yang beragama Budha,
setiap pendakian akan ada upacara terlebih dahulu.
Jon
Krakauer adalah salah seorang pendaki yang juga terbius untuk
menaklukkan sang Sagarmatha. Namun keinginan itu terbenam melihat
besarnya dana dan resiko yang harus ditanggung apalagi dengan
kehidupannya sekarang yang sudah nyaman. Namun, kesempatan itu muncul
ketika Outside menawarkannya untuk mendaki bersama pemandu kawakan untuk melaporkan kisah perjalanan pendakian ke puncak tertinggi di dunia.
Awalnya
sedikit membingungkan ketika Jon membawa pembaca melompati waktu dari
kisah Everest lalu ke puncak Everest dan kembali ke saat ketika dia
ditawari Outside. Kebingungan yang berakhir pada pengambilan
kesempatan itu membuat Jon mempersiapkan fisiknya untuk mendaki, bukan
hanya untuk menjadi wartawan namun menjadi salah satu klien dari
perusahaan pendakian yang ada. Everest kini menjadi semacam komoditas
dimana ada berbagai perusahaan yang menawarkan pengalaman mendaki
Everest dengan pemandu dan para Sherpa dengan harga minimal 65ribu
dollar saat itu. Setelah usaha penaklukan Everest banyak warga Sherpa
yang menjadi anggota tim pendaki untuk sekedar membawakan barang atau
membantu hingga puncak.
Tiba
di Nepal Jon bergabung dengan anggota tim lainnya yang sama sekali
belum kenal dan akan menjadi 1 tim dalam pendakian yang berbahaya. Dari
sini Jon menjelaskan dengan detail segala persiapan yang dilakukan
sebelum melakukan pendakian hingga persiapan sebelum ke puncak.
Perjalanan menuju basecamp yang cukup sulit, dan program
aklimatisasi untuk adaptasi tubuh mereka terhadap udara tipis yang
miskin oksigen diatas sana. Dari program aklimatisasi itupun sudah
membuat beberapa pendaki kelelahan. Banyak resiko yang ditanggung
pendaki disana dari hal mekanis karena tempat yang terjal dan bersalju,
hingga berbagai penyakit akibat ketinggian seperti HAPE(High Altitude Pulmonary Edema) dan HACE (High Altitude Cerebral Edema) serta frozen bite akibat udara yang terlalu dingin.
Setelah
selesai program aklimatisasi dan pembagian giliran dengan tim lain
untuk tanggal pendakian, meski akhirnya ada yang tidak patuh, akhirnya
tiba waktunya tim Jon untuk mendaki tanggal 10 Mei 1996. Segala
perjuangan, kerja sama, aturan, dan resiko menuju puncak dia ceritakan
dengan detail, masa ketika dinginnya udara membuat mereka tak bisa
berpikir cepat.
Pada
akhirnya Jon mencapai puncak, namun ini bukan klimaks cerita yang ingin
disampaikan Jon. Perjalanan turun lebih sulit dan beresiko daripada
naik. Dalam perjalanan turun inilah berbagai kejadian menegangkan
terjadi. Badai yang menyerang membuat perjalanan makin sulit, masa
ketika mereka bisa salah mengenali orang, ketika jalan tidak terlihat
dan anggota tim lain sudah terlalu lemah. Ketika itu anggota tim
sebagian sudah terpencar. Jam turun yang sudah ditetapkan dilanggar.
Tindakan orang anggota tim lain yang terlihat egois. Pilihan antara
menolong orang lain atau menyelamatkan diri. Tindakan heroik untuk
menerjang badai mencari anggota tim yang lain. Semangat hidup yang
membuat seorang yang dianggap tidak akan bertahan ternyata bangun lagi
dari komanya dan berdiri sekalipun tangan dan wajahnya membeku. Dalam
kondisi ini setiap detik sangat berarti.
Setelah
sampai di camp akhirnya diketahui delapan rekan mereka tewas termasuk
sang pemandu yang tersohor. Saat Jon sadar bahwa ia salah mengenali
orang, masing-masing dari mereka yang bertahan sadar ada kesempatan
untuk menolong orang yang sebenarnya tadinya berada dekat jalurnya.
Kejadian itu telah tersebar, dan begitu sampai di basecamp dan hotel
tempatnya menginap ia langsung dihadapkan banyak wartawan dari berbagai
negara yang menginginkan kisah perjalanannya yang maut dan menyisakan
banyak kesedihan. Perjalanan yang menelan cukup banyak korban ini tidak
membuat kapok manusia, beberapa hari sesudahnya beberapa tim penaklukan
mulai mendaki dari jalur yang berbeda, dan juga menelan korban.
Kisah
Jon tidak berakhir sampai disitu, segala hal yang telah terjadi terus
menghantui hidupnya. Ketakutannya ketika harus berhadapan dengan istri
dan keluarga teman sependakiannya yang telah tewas. Dan kisah ini ia
akhiri dengan berbagai akibat yang telah ditimbulkan pendakian everest
terhadap beberapa pendaki dan keluarga yang telah ditinggalkan.
Kemudian
apakah benar bahwa bencana itu terjadi karena kelakuan para klien yang
menodai kesucian sang Sagharmata seperti yang dipercayai para Sherpa
atau murni karena kecerobohan manusia? Apakah akhirnya Jon bisa
mengatasi ingatannya akan Sagharmata?
Banyak
inspirasi yang datang dari kisah ini, ketika kebijakan pengambilan
keputusan lebih dibutuhkan daripada pencapaian puncak. Penyadaran bahwa
kita mencari sesuatu yang berharga dan ternyata itu adalah yang kita
tinggalkan dalam pencapaian puncak itu. Temukan lebih banyak lagi dengan
membacanya dan jangan lupa berikan komentarmu
*NB: artikel ini merupakan kopi dari artikel saya dari blog yang lain yang akan ditutup.
Perjalanan Jogja-Tuban
*artikel ini merupakan kopi dari artikel saya diblog yang lain yang akan ditutup
Dari kuliah di jogja kemudian mendapat penempatan untuk mengabdi selama satu Tahun di Tuban, Jawa Timur. Saya dengan kelompok belum ada yang pernah kesana sebelumnya. karena itu kami mencari-cari informasi mengenai kota Tuban. diantaranya lewat internet dimana yang kami temui cuma berikut ini:
Dari kuliah di jogja kemudian mendapat penempatan untuk mengabdi selama satu Tahun di Tuban, Jawa Timur. Saya dengan kelompok belum ada yang pernah kesana sebelumnya. karena itu kami mencari-cari informasi mengenai kota Tuban. diantaranya lewat internet dimana yang kami temui cuma berikut ini:
website resmi dari pemerintah kabupaten tuban
website berita dari tuban: http://kotatuban.com/, http://kabartuban.com/
website berita dari tuban: http://kotatuban.com/, http://kabartuban.com/
hanya
sumber ini yang bisa saya jadikan referensi bagaimana kondisi disana,
sebenarnya masih ada namun sulit terbuka. yahh... lumayan lah untuk
persiapan.
selain
persiapan jarak jauh, beberapa diantara kami ada yang survei langsung
kondisi di tuban sekalian mencari kos2an untuk kami semua.
Posisi Tuban di jawa timur kira2 seperti ini:
Kemudian untuk menyusun rencana keberangkatan kesana, saya mencoba mencari transportasi yang mudah dari jogja ke tuban. Hasilnya saya dapatkan 2 travel yang melayani jogja-tuban dan sebaliknya.
1. Travel Bisma Jaya Mandiri, biaya kira2 90 ribu rupiah untuk sekali jalan. no yang bisa dihubungi: 0274-6934456/081392194126
2. sepertinya ini travel pribadi, dengan biaya 215.000 rupiah. no yang bisa dihubungi: 085743657515.
Namun
ternyata kami masih harus melapor ke Dinkes provinsi jawa timur yang
berada di surabaya. Jadi saya dan beberapa teman terbang menuju surabaya
terlebih dulu, mengikuti kegiatan sehari dan langsung menuju Tuban
menggunakan travel surabaya-tuban gloria.
Kemudian
untuk kendaraan motor dan beberapa barang saya paketkan dengan jasa
Elteha, habis sekitar 300rb untuk motor supra x 125 + 1 dus paket.
dan akhirnya sampailah saya di kota Tuban untuk bekerja selama satu tahun pengabdian terhadap negara... semoga kerasan.
Perjalanan Tuban-Bromo
Setelah lama kami merencanakan
berwisata melihat fajar di ufuk gunung Bromo, akhirnya minggu kemarin,
14 Oktober 2012 kami menyelesaikan misi tersebut.
Kami berangkat dari Tuban sekitar pukul 16.00, mampir sebentar ke bravo
untuk membeli cemilan dan minum, karena kami pikir makan dan minuman di
daerah wisata pasti mahal. Kami menuju Surabaya sebagai persinggahan
pertama melalui jalur Pantura melalui jalan utara, menyusuri pantai.
Kami juga sempat melewati WBL, wisata bahari lamongan, yang mungkin
menjadi tujuan wisata kami selanjutnya. Sampai di Surabaya sekitar jam 8
kurang kami bertemu dengan rombongan teman yang sudah berangkat duluan.
Di supermall pakuwon tepatnya kami mampir untuk duduk, makan dan
menghabiskan waktu menunggu pukul 10 malam.
Pukul 10 malam kami keluar dari mall super di Surabaya yang besar
tersebut dan langsung menuju Bromo. Perjalanan melewati kota Sidoharjo
dan ke timur, Pasuruan. Kemudian menuju Bromo dari arah utara.
Sekitar pukul 1 pagi kami tiba di semacam terminal kecil, di kaki
gunung bromo. Begitu mobil kami berhenti segerombolan orang mengerubungi
mobil kami ada tukang parkir, ada penjaja topi, sarung tangan untuk
penghangat, dan seorang yang kami duga calo. Dengan orang tersebutlah
kami ditanya untuk tawar menawar sewa jip. Awalnya harga 1 jip 450rb
dengan kapasitas max 6 orang. Tapi setelah menawar akhirnya hanya turun
25rb. Dan setelah pulang kami baru tahu jika bisa lebih murah jika
langsung bertemu dengan sopirnya, bukan perantara, sekitar
350-400rb/jip.
Sambil menunggu waktu keberangkatan pukul 3 pagi, kami ngobrol2, makan
cemilan dan tidur sambil kadang masih saja ada orang yang menawarkan
topi dan sarung tangan yang masing-masing seharga 15 ribu dan 5 ribu
rupiah, cukup murah kan. Kami juga melihat beberapa mobil mulai
berdatangan, parkir di sebelah bus-bus yang sudah parkir sejak semalam
sebelumnya. Pukul 3 kurang 2 jip yang kami sewa sudah tiba. Kamipun
bersiap-siap menuju atas, tempat melihat sunrise. Dengan jip tadi kami
akan diantar ke 2 titik di gunung bromo ini. Tujuan pertama adalah
melihat sunrise. Pukul 3 lebih kami berangkat, jalanan masih gelap,
namun aktivitas sudah banyak, jip-jip lain juga tampak menuju tempat
yang sama. D perjalanan sopir kami mengatakan ada 2 titik untuk melihat
fajar, karena katanya indahnya sama saja kami ikut saja.
Perjalanan dengan jip berlangsung sekitar 1 jam, sembari menerawang
jalanan gelap saya berbincang dengan sopir jip yang masih kuliah ini.
Tiba di lokasi parkir jip, kami masih harus berjalan naik menuju titik
yang dimaksud. Turun dari jip lalu berjalan tidak selang lama kami mulai
melihat warga lokal yang menawarkan kuda sebagai tumpangan, karena
jalanan memang naik dan membuat capek. saya sempat mendengan harga yang
ditawarkan hingga 100ribu untuk naik dan turun. Awalnya jalan berkelok
penuh pasir, namun kemudian ada tangga. Karena disini gelap jadi kami
harus berhati-hati, jangan lupa membawa senter atau penerangan lain.
Selain gelap kita juga berjalan dengan banyak orang dan kuda, jangan
sampai saling menabrak atau berhenti mendadak di tengah jalan. Kami
sempat terpisah menjadi beberapa kelompok. Saya terus berjalan menuju
atas berharap masih ada tempat untuk menikmati fajar bromo. kurang lebih
20 menit berjalan akhirnya sampai di titik yang dimaksud, sebuah
dataran yang cukup luas di tepi bukit, dengan 2 bangunan beratap datar.
Disana sudah penuh orang yang juga mau menikmati fajar, selain itu juga
ada beberapa warga yang menjual minuman dan makanan hangat, karena
disana memang dingin.
Awalnya saya di atap bangunan tadi, karena merasa kurang puas saya
mencari jalan agak ke atas lagi menaiki jalan berbatu. Sedikit diatas
kamipun menunggu cakrawala yang sudah mulai nampak oranye namun bulan
dan venus masih tampak.
Perlahan tapi pasti cahaya mentari mulai nampak, dan fajar mengintip
dari balik awan tipis di ujung cakrawala. Sekitar pukul 5 pagi, fajar
menyingsing di gunung bromo, memberi kehangatan bagi orang-orang yang
kedinginan dan butuh hiburan. fajar yang hanya berlangsung 10 menit ini
sangat memukau kami, tak kami sia-siakan kesempatan ini untuk
mengabadikannya. Cahaya mentari mulai menyinari sekitar, gunung, dataran
dan kawah pasih mulai tampak. Semakin takjub kami melihat
keindahannya.
Sekitar 1 jam kemudian panas mentari mulai menyengat, perlahan-lahan
topi dan sarung tangan dan jangan kami lepas satu persatu. Kemudian kami
turun menuju parkiran jip yang menunggu untuk menghantar kami ke tujuan
kedua, kawah gunung bromo. Dalam perjalanan turun lagi-lagi banyak
orang dan banyak kuda berlalu-lalang, debu dari pasir di jalanan
mengebul layaknya asap pada perapian. Kami harus memakai masker supaya
bisa bernapas dengan enak, tidak tercampur debu pasir plus isi dari
kuda.
Sampai di tempat jip kami langsung naik dan langsung menuju kawah.
Perjalanannya hanya sekitar setengah jam. Kali ini jalanan sudah tampak,
dan ternyata dari kemarin kami melewati jalan di tepi jurang yang curam
setinggi pucuk pohon atau lebih. Kami juga dapat menyaksikan perkebunan
sayur milik warga setempat. Alur rapi di kemiringan lahan membuatnya
tampah indah. Kebanyan petani sini menanam bawang dan kentang. Dari tepi
kawah besar kami mulai melihat lautan pasir yang harus kami lewati.
Memasuki kawah besar mobil pribadi tidak boleh masuk, kecuali mau
membayar dengan harga mahal. Selain jip warga lokal, banyak juga
wisatawan dengan mengendarai motor kesini masuk melalui lautan pasir
menuju kawah aktif. Di lautan pasir terdapat tiang-tiang setinggi 1
meter berjajar sebagai penanda jalan. Karena daerah pasir tidak jarang
kendaraan yang kesulitan untuk melewatinya.
Kami berhenti di tepi luar batas Pura, tempat ibadah warga setempat
yang kebanyakan adalah hindu. Agak jauh dari Pura tersebut. Turun yang
pertama saya lakukan adalah mencari kamar mandi karena panggilan alam.
Ada kamar mandi di lautan pasir tersebut. Sudah melaksanakan panggilan
alam, kami melanjutkan perjalanan lagi di lautan pasir menuju kaki
kawah. Sampai di kaki kawah jalanan masih berpasir dan masih banyak
warga yang menawarkan boncengan kudanya. Kami berjalan lagi sekitar 30
menit sampai di kaki tangga kawah bromo, ya ada tangga di kaki bromo.
Sejena kami beristirahat mengambil nafas sambil melihat sekeliling. Kami
dapat melihat lautan pasir, bukit berwarna hijau kekuningan di sebelah
kawah ini, dan pura di kaki kawah. Di tangga pertama terdapat bunga dan
semacam sesajen, penanda bahwa warga setempat masih sering mengeramatkan
tempat ini.
Perjalanan mendaki tangga pun dimulai, iseng2 saya menghitung tangga
yang ada. Setelah hitungan 210 sampailah saya di tepi kawah, kami bisa
melihat asap mengepul di bawah, tepat di lubang kawah yang masih aktif.
di pagar pembatas kawah ini pula dapat ditemui sekeranjang kecil berisi
bunga-bunga. Bau belerang sangat menyengat hidung, dan terik matahari
sangat menusuk. Sedikit menyusuri tepian kawah untuk mengambil foto,
kemudian kami segera turun.
Dalam perjalanan turun jumlah tangga yang saya hitung berubah, sekitar
230 anak tangga, teman saya yang menghitung juga berbeda tapi yang pasti
lebih dari 200 anak tangga. Perjalanan turun juga membuat capek, karena
jaraknya cukup jauh. Beberapa teman akhirnya memilih menyewa kuda
dengan harga sekitar 20-30rb untuk perjalanan turun hingga ke tempat
jip. Saya berjalan sambil menikmati gundukan pasir dan mencoba mencari
jalan alternatif yang lebih enak. Sampai di tempat datar saya berjalan
agak serong ke kanan menuju Pura.
Di tepi luar Pura terdapat beberapa pohon dan disitulah kami
beristirahat untuk sejenak. Tampaknya pura ini sedang di bangun atau
diperbaiki. Beberapa wisatawan lain juga beristirahat diringdangnya
pepohonan ini. Sudah puas kami melanjutkan jalan kaki menuju ke parkiran
jip. Tiba disana kelompok teman kami yang satunya sudah berangkat
pulang lebih dulu. Kamipun segera menyusul. Dalam perjalanan saya lihat
banyak hotel dan penginapan disekitar sini, dari yang tampat seperti
rumah dengan cat mencolok, hingga yang dibuat arsitek betulan. Saya
sempat melihat juga spanduk berisikan "selamat hari raya ............."
saya lupa ucapan terakhirnya karena dalam bahasa sansekerta sepertinya.
Yang pasti hari raya tersebut sudah 2 hari yang lalu, ucap sopir kami,
dan berlangsung tiap bulan oktober. Saya mencoba mencari lagi istilahnya
di google tapi kesulitan, tampaknya karena hindu di bromo dengan hindu
di tempat lain agak berbeda. Pada hari raya tersebut warga memberikan
semacam persembahan di Pura. Tak berasa obrolan dengan sopir kami sudah 1
jam dan sampailah kami di terminal kecil tempat memarkir mobil.
Sejenak beristirahat dan membersihkan diri dari debu-debu yang menempel
di badan kami. Disini untuk kamar mandi anda harus nenyumbang 2000
untuk cuci kaki tangan atau kencing, dan 5000 untuk mandi. Setelah
beristirahat dan mengambil napas pukul 9 lebih kami pulang menuju ke
Tuban.
Tuban, 20 Oktober 2012
A. Kristyawan N.
NB: artikel ini merupakan kopi dari blog saya yang lain untuk menyatukan ke 1 blog ini.
Langganan:
Postingan (Atom)